Translator 2nd

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Follower

Sabtu, 17 Juli 2010

Chapter 4 Jack wonderful live

CHAPTER FOUR


Nami... Nami... Seharian ini aku terus memikirkan Nami. Aku sungguh penasaran padanya. Oke. Sebenarnya sih tidak terlalu penasaran, hanya... Err, sedikit menyesal mungkin? Karena aku tidak mengeluarkan pesonaku sebagai seorang pria. Grrh. Pokoknya besok aku harus menemuinya. Mengambil hatinya. Dimana kira-kira aku bisa menemuinya? Ah! Inn! Dia tinggal di Inn. Oke. Pagi-pagi sekali aku akan mengunjunginya di Inn! Jam berapa sekarang? Ya ampun! Sudah jam tujuh malam. Malam sekali! Aku harus segera tidur demi ketampananku. Berkurang satu jam saja waktu tidurku, ketampananku akan berkurang sepuluh persen.

"Good night Muffy, Celia, Flora... dan Nami," salamku pada bayangan para gadis cantik di kepalaku.

"(*w*)"

"Moo!"

"Kaing!"

"Moo!"

"ARRRGH! Peliharaan sialan! Berisik banget! Nggak tau apa kalau tuannya capek!" Aku beranjak bangkit dari kasurku dan menggaruk-garuk kepalaku yang ditumbuhi rambut tebal jabrik berantakan. "Nani? Sudah pagi? Gawat!" Aku bergegas merapikan baju dan rambutku ketika melihat sinar matahari jatuh dalam jendelaku. Tak perlu mandi dan tak perlu berganti baju. Tanpa mandi pun aku sudah terlihat sangat sangat tampan.

Kucabut dengan kasar mugwort yang tumbuh di belakang rumahku dan kuremas-remas lalu kutaruh di tempat makan Odi. Lalu dengan segera, kubergegas ke kandang dan kukeluarkan si Sapi. Tak lupa kuperah susunya dengan cara yang sangat tidak berprikebinatangan. Tak perlu disikat ataupun dipeluk. Sapi sialan bersusu grade B tidak perlu diistimewakan. Rasakan!

Oke. Jam delapan! Kuarahkan langkahku ke Inn.

'Klining klining.'

"Selamat datang!"

"Ah. Terimakasih," ucapku dengan senyuman. Soalnya, yang menyapaku seorang wanita.

"Ada perlu apa?" ujarnya. "Hei. aku tak pernah melihatmu sebelumnya. Aku Ruby. Pemilik Inn."

"Oh. Salam kenal, Ruby. Aku Jack. Aku pemilik peternakan yang ada di dekat sini," ujarku. "Aku ingin bertemu Nami."

"Ternyata teman Nami. Nami-nya masih tidur. Ayo, sambil menunggu Nami bangun dan sebagai salam perkenalan dariku, mari ikut sarapan bersamaku," ajak Ruby. Asik! Makanan gratis!

Aku pun masuk ke dalam dapur. Di mejanya terdapat berbagai macam makanan. Makanan khas dari berbagai belahan dunia. Aku tergoda untuk mengambil sepotong onigiri karena terlihat masih hangat dan tampilannya menarik. Ternyata onigirinya enak juga, kok. Nasinya pulen dan wangi. Aku memang sudah sangat lama tidak makan nasi. Selama tinggal di sini, aku hanya makan mugwort dan ikan yang kupancing. Tanpa nasi. Entah darimana mereka mendapatkan berasnya. Setahuku, iklim di Forget-Me-Not Valley ini tidak memungkinkan untuk ditanami padi.

Ruby masih makan dengan tenang, sedangkan aku sudah melahap habis lima potong onigiri di piring.

'Kriek.'

Eh. Suara pintu. "Ruby, mungkin itu Nami?"

"Ya. Ayo kita segera ke atas. Aku harus membereskan kamarnya," ujar Ruby sambil bangkit dari duduknya. Padahal masih ada beberapa rolade di piringnya. Dia menyia-nyiakannya. Begitu Ruby sampai di pintu keluar dari dapur, aku mengeluarkan plastik serbaguna yang kusiapkan dari dalam ranselku. Kumasukkan sisa-sisa rolade itu ke dalam plastik serbaguna. Lumayan, buat makan malam.

'Tok tok.' Ruby mengetuk pintu. Tidak ada jawaban... Ruby pun langsung saja membukanya. Toh, pintunya tidak dikunci.

"Ini kamar Nami," ujar Ruby. Tak perlu kau beritahu pun aku sudah tahu, Ruby.

Aku melihat-lihat kamar Nami. Kesan pertama yang kudapat adalah; ini kamar apa kapal pecah, sih? Berantakan. Pantas Ruby bilang mau membereskannya. Dan benarkan Nami seorang gadis? Gadis kok bangunnya siang amat, jam sembilan. Siapa yang mau memperistrimu, Nami. Kalau kau bangun sangat siang seperti ini. Eh? Hei! Jauh sekali aku berpikir. Memangnya aku di Forget-Me-Not Valley ini sedang mencari istri. Ingat, Jack! Tujuanmu hanyalah mendapatkan pacar sebanyak-banyaknya. Dan Nami terlihat oke untuk dijadikan pacar.

Aku mengamati isi kamar Nami. Hm? Hanya meja ini yang rapi. Tidak ada banyak barang di atasnya. Ow ow. Aku kok jadi merasa deja vu ya? Ada buku kecil bersampul merah marun. Sudah jelas aku mau tahu apa isinya. Jadi kuambil dan kubuka.

-#-#-#-#-#-
Hari ini sial sekali.
Saat aku sedang berbaring di spring, seseorang menginjak perutku dan itu terasa sakit.
Dia petani baru.
Namanya Jack.
Sikapnya memuakkan sekali.
Cara berbicaranya datar dan ekspresi wajahnya menyebalkan.
Tampang penipu.
Dan dia memetik bunga banyak sekali.
Aku curiga dia akan menjualnya kepada Van.
Soalnya, dulu Murrey melakukan hal yang sama.
Kuharap petani itu cepat pindah dari sini.

-#-#-#-#-#-

Eeh? Nami benci padaku dan dia tahu alasanku memetik bunga-bunga itu? Gawat, gawat. Aku harus segera mengambil hatinya sebelum dia semakin membenciku!

'Klak.' Pintu terbuka dan terlihatlah seseorang dengan rambut merah yang basah. Aku segera berbalik badan dan meletakkan buku itu di tempatnya semula.

"Ternyata kau habis mandi ya, Nami,"ujar Ruby. "Jack daritadi menunggumu."

"Pagi, Nami," ujarku dengan senyuman mautku. Senyum yang seratus delapanpuluh derajat berbeda dengan senyum yang kuberikan kepada Nami kemarin sore."

Ekspresi Nami tetap datar, "Untuk apa kau kemari?"

"Err... err..." Aku juga bingung apa alasanku datang kemari. "Hanya ingin menyambung tali silaturahmi," bualku.

"Hmm. Ruby, aku pergi dulu," ujar Nami.

"Hati-hati ya, Nami," balas Ruby.

"Eh? Hei, Nami. Mau ke mana?" Aku mengejarnya yang sudah berada di tangga Inn. Cuek banget, sih! Kalau begini aku jadi semakin tergoda.

"(*_*)"

"Nami, kau suka tidur-tiduran di alam terbuka, ya?" kataku memecah keheningan. Daritadi Nami hanya berbaring di pohon rindang di belakang Inn. Dia memejamkan matanya. Tapi, aku tahu kalau dia tidak tidur.

"Kau keberatan?" ujarnya datar.

"Tidak, kok. Aku juga suka tidur-tiduran di alam terbuka. Apalagi di pinggir pantai," kataku sambil tersenyum dan mengarahkan jari telunjukku ke arah pantai. Aku pun berbaring di samping Nami. Nami tersenyum kecil. Hehe. Pasti sepulangnya dari sini, dia akan menulis hal yang baik-baik di diarynya.

Berbaring di sini memang sungguh nyaman. Angin berhembus sepoi-sepoi. Sesekali, kelopak sakura jatuh mengenai pipiku. Terasa geli, tapi menyenangkan. Aku dan Nami diam tanpa kata. Menikmati.

"Hei, Nami."

"Hai, Gustafa!" Nami bergegas bangun dan menyambut lelaki bernama Gustafa itu. Lelaki hippie yang sepertinya seumuran denganku. Dia memiliki janggut dan memakai topi kerucut berwarna hijau yang disisipkan toy flower.

"Hei, siapa pria ini, Nami?"

"Hn? Ini Jack. Dia pemilik perkebunan di atas situ," ujar Nami.

"Hai, Gustafa. Aku Jack. Salam kenal," ujarku sambil bangkit dan menorehkan sedikit senyum. Senyum khusus untuk para pria bila di keramaian. Aku tak mau Nami benci padaku karena tidak menyalami temannya.

"Hai, Jack," balas Gustafa. Baiklah, untuk menyambut Jack. Aku akan menyanyikan sebuah lagu." Oh. Kenapa tak ada yang memberiku uang sebagai salam perkenalan.

Gustafa pun menyanyikan sebuah lagu. Lagu country. Hidupku sunyi dari Tantowi Yahya.

"Bila hari telah senja
Malam hari pun tiba
Hidupku yang sendiri
Sunyi...

Bila senja berlalu
Hati terasa pilu
Hidupku yang sendiri
Sunyi..."

"Oh, Gustafa. Kau tahu kau tak sendiri," Nami mendesah. Gustafa terus bernyanyi.

"Mengapa dikau bertanya
Mengapa ku harus berduka
Hidupku hanya untukmu
Sayang.. .sayang..."

Nami terkikik geli. Sangat tidak seperti Nami yang sudah kukenal selama duabelas jam. Aku yakin mereka ada apa-apanya.

Gustafa terus bernyanyi dan Nami mendengarkan dengan santai. Aku? I don't get it anymore. Aku nggak ngerti. Country bukanlah musikku.

Oh. Akhirnya mereka selesai bernyanyi.

"Hei, Jack. Kau bisa main musik?" tanya Gustafa.

"Aku..." Ah. Nami memandangiku. "Aku... Aku dulu aku anak band." Tinggal di Bandung. "Aku megang drum." Drum dari panci. "Dan sedikit bisa main gitar." Guitar Hero, maksudnya.

"(*v*)"

Nami dan Gustafa terus-menerus berbincang soal musik. Mereka berbincang seperti dunia hanya milik mereka berdua. Aku dicuekin. Huh. Bahkan saat aku beranjak pergi pun mereka tidak menyadarinya sama sekali.

Aku berjalan ke arah barat. Di jalan utama desa. Jalan utama? Jalan utama yang kecil.

"Huwee! Huwee!" Tch. Anak cengeng. Mana ayah-ibunya? Tega sekali meninggalkan anak seperti itu di samping sumur. Bisa-bisa dia bunuh diri. Ah. Masa bodo. Aku tak peduli. Aku terus melangkahkan kakiku ke arah barat.

Aku sampai di ujung jalan. Matahari mulai condong ke arah timur. Langit mulai menguning. Pantai masih bisa terlihat dari sini. Gemercik air laut bagaikan pecahan kristal. Bercahaya.

'Ting ting ting ting ting'

'Ting ting ting ting ting'

Bunyi dentingan piano yang indah. Dari arah utara. Arah sebuah rumah besar yang jalannya menanjak sekali. Aku ingin mendengar lebih jelas suara dentingan piano itu, tetapi, aku malaaas.

'Hei, Jack! Siapa tahu pianisnya seorang gadis cantik yang bisa kau dekati?' hati kecilku berkata demikian, jadi... Ayo kita daki jalan menanjak ini!

"(*0*)"

Dengan perlahan aku membuka pintu rumah besar tersebut. Rumah terbesar di Forget-Me-Not Valley ini. Bukan. Bukan rumah besar, ini sebuah villa. Villa yang megah.

'Ting ting ting ting ting'

Bunyi piano masih terdengar. Bunyinya berasal dari sebuah piano di bagian kanan bangunan viila ini. Seseorang berambut coklat panjang dengan asyik memainkannya. Aku tak tega mengganggunya. Bunyi dentingan pianonya menghanyutkan hati. Indah sekali.

'Tiiiiiiing'

Sepertinya sudah selesai.

"Eh? Ada perlu apa, ya?" gadis berparas cantik dan berambut coklat panjang yang memainkan piano itu terkejut saat melihatku di ambang pintu.

"Err... Aku... Saat aku lewat dekat sini, aku terpesona oleh suara pianomu. Lalu aku mencari sumber bunyinya dan... aku sampai di sini," ucapku dengan senyum yang seperti biasa. "Permainan pianomu indah sekali."

"Terimakasih," senyum gadis itu sambil terkikik. "Oh, ya. Kau penduduk baru, ya? Kenalkan. Aku Lumina."

"Salam kenal, Lumina. Aku Jack," senyumku sambil bersalaman dengan tangan mungilnya.

"Lumina, kau selalu bemain piano di sore hari seperti ini?" tanyaku.

"Tidak. Aku biasanya bermain pada pagi hari. Tapi, tiba-tiba saja, sore ini aku ingin bermain."

"Oh. Pasti agar aku bisa mendengar permainan pianomu," godaku. Lumina hanya terkikik kecil.


-To Be Continued-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar