Translator 2nd

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Follower

Sabtu, 17 Juli 2010

Chapter 3 Jack wonderful live

CHAPTER THREE


"Huahm. " Aku mengantuk. Biasanya jam segini aku sedang tidur dengan tenang di ranjangku. Tambah lagi, suhu di sini panas sekali. Jika tidak sedang butuh uang, aku takkan mau bekerja di sini. Sayangnya, keuanganku sedang krisis sekarang. Mesin uangku, si Sapi, hanya menghasilkan susu grade B. Sepertinya dia marah karena aku lupa mengurusnya kemarin. "Huahm~"

"Jack, sepertinya kau sangat mengantuk. Istirahatlah sebentar," cemas Flora. Flora itu sama seperti Carter. Dia seorang arkeolog berambut pirang yang cantik, dan juga seksi. Dia tinggal dalam tenda yang sama dengan Carter. Aku berpikir apa saja yang sudah mereka lakukan bersama di dalam sana. Tadi pagi aku berkunjung ke dalam tendanya. Jarak kantung tidur mereka tidak sampai satu meter.

"Aku masih bisa tahan, Flora," ujarku, "Aku baru dapat barang sedikit. Lagipula, belum sampai dua jam aku menggali." Walaupun aku berkata seperti itu pada Flora, tapi aku benar-benar tidak tahan lagi. Kantung mataku sudah terlampau berat. Aku tak sanggup lagi menahannya.

'DUK.' Kepalaku terantuk dinding.

"Hei, Jack. Sebaiknya kau segera pulang dan istirahat," ujar Flora mengkhawatirkanku. Dia bergegas menuju ke arahku. "Kau baik-baik saja, Jack?" katanya setelah melihatku memegangi jidatku.

"Ah. Aku tidak apa-apa, Flora. Tenang saja," ujarku sambil tersenyum sedikit. Eh? Kurasakan hawa tidak enak disekelilingku. Kuarahkan bola mataku ke sebelah kiri. Kulihat wajah masam Carter. Wajahnya berkerut. Pandangannya lurus pada... Flora. Heh, kau cemburu, Carter? "Ahh!" desahku.

"Kau tampak tidak sehat, Jack. Ayo kupapah sampai rumahmu," ujar Flora sambil berusaha memapahku.

"Kepalaku terasa pusing sekali," komplainku. Sebenarnya, aku tidak merasa pusing sama sekali, hanya mengantuk. Cuma... aku merasa gatal jika tidak melakukan hal itu. Hal yang bisa membuat seseorang cemburu.

"Carter, aku pergi mengantarkan Jack ke rumahnya dulu, ya," pamit Flora. Carter tidak menjawab. Sepertinya dia pura-pura sibuk mengais tanah.

Flora berniat memapahku sampai rumahku. Tapi, sampai di dekat Vesta's Farm, kulihat sekelebat bayangan yang tampak familiar...

"Flora, lebih baik kau bantu Carter di situs penggalian. Aku bisa pulang sendiri, kok," ujarku.

"Tapi, Jack. Apa kau yakin bisa pulang dengan selamat?" tanya Flora cemas.

"Tenang saja, Flora," yakinku disertai dengan senyuman yang kujamin dapat membuat hati seluruh wanita di dunia meleleh.

"Hati-hati ya, Jack," ujar Flora, masih cemas. Aku melambaikan tangan kananku padanya sampai batang hidung Flora sudah tak kelihatan lagi.

Yap. Sekarang aku bisa melaksanakan misiku. Perlu diketahui, rasa kantukkku sekarang sudah hilang sama sekali. Aku pun tidak tahu kenapa. Aku mengendap-endap menuju bagian belakang Vesta's Farm. Kupetik setangkai bunga goddess drop yang tumbuh di dekat kincir angin dan kumasukkan kedalam ranselku. I'm ready now. Aku mendekati bayangan yang familiar bagiku itu.

"Siang, Celia," sapaku pada pemilik bayangan itu.

"Oh. Hai, Jack. Tumben sekali kau datang kesini siang-siang," ujarnya.

"Aku habis bekerja di situs penggalian," jelasku dengan senyuman. "Oh ya, Celia. Ada yang ingin kuberikan padamu," kataku sambil sok mengaduk-aduk ranselku.

Aku sengaja membuat lama pengadukan ranselku itu dengan satu tujuan. Membuat Celia agak penasaran dengan barang yang ingin aku berikan padanya. Setelah kira-kira berjalan selama satu menit, aku mengambil barang yang kucari itu.

"Ini untukmu, Celia. Bunga cantik yang sesuai dengan wajah cantikmu," gombalku sambil menyerahkan bunga yang kuambil secara diam-diam dari belakang rumah tempat tinggalnya.

"Wow. Goddess drop! Terima kasih, Jack," sambut Celia dengan senyuman manis tersungging di bibirnya. "Kau tahu, Jack? Bunga ini berharga lumayan jika kau jual pada Van."

Hmm? Van mau membeli bunga sampah seperti itu? Sampah yang tiap hari tumbuh walaupun tidak ada yang mengurusnya.

"Syukurlah kalau kau suka, Celia. Aku pulang dulu, ya," pamitku.

"Terima kasih, Jack. Hati-hati di jalan."

Aku berjalan pulang sambil terus berpikir. Bunga itu bisa dijual ke Van. Harganya cukup mahal. Setiap hari bunga bisa tumbuh dimana saja. Kita tidak perlu meminta izin siapapun untuk memetiknya.

Saat sudah mencapai jembatan, aku hentikan langkahku. Merasa sudah punya tujuan. Kualihkan gerakan kakiku yang tadinya lurus menuju ke arah kanan. Ke arah spring. Aku tidak tahu apa yang kuperbuat ini. Aku bahkan belum pernah pergi mengunjungi spring. Tapi, hati kecilku berkata kalau aku harus pergi ke sana. Aku mempercepat langkahku. Seakan ada hal yang sangat genting yang tak boleh terlewatkan olehku.

Indah. Itulah kata yang pertama kali hinggap di kepalaku saat melihat keadaan di spring. Danau kecil yang jernih, rerumputan terhijau yang pernah kulihat, binatang-binatang hutan yang manis, bau tanah yang lembut, jamur-jamuran yang berwarna cerah dan... BUNGA! Bunga-bunga bermekaran di spring! Sekarang aku tahu kenapa hati kecilku menuntunku ke sini. Ternyata, salah satu jiwa dari hati kecilku, yaitu jiwa bisnisku, menuntutku untuk menikmati wangi uang di sini.

Aku bergegas memetik setiap tanaman uang, bunga yang bermekaran di depan mataku, maksudku. Goddess drop, toy flower, semua kupetik, tak akan ada yang luput dari petikan mautku.

"Aww!" Kudengar suara aduhan saat kurasakan ujung sepatuku menginjak sesuatu yang lembut. Untungnya keseimbanganku baik, jadi aku tidak menjatuhkan bunga-bunga yang daritadi kugenggam. Aku segera menjauhkan kakiku dari benda itu. Maksudku, manusia itu... Ya. Aku menginjak perut seorang manusia. Manusia berjenis kelamin... Apa ya? Aku juga kurang jelas.

"Maaf. Aku tidak sengaja. Aku tidak melihat," kataku dengan intonasi yang biasa saja dan dengan ekspresi yang biasa juga. Aku tidak menebar senyuman spesialku. Asal tahu saja, senyum spesialku itu hanya untuk para gadis. Sedangkan aku tidak tahu jenis kelamin manusia yang sudah kuinjak perutnya ini.

"Ah. Tidak apa-apa. Salahku juga karena tiduran di rumput," gumamnya sambil beranjak bangun. Walaupun hanya terdengar suara gumaman, tapi suaranya keren! Cool!

Sekarang dia sudah berdiri dengan sempurna. Tangannya kecil. Tubuhnya tinggi kurus dan berwarna putih pucat, kontras dengan rambut merah gelapnya yang pendek. Matanya indah dan berwarna biru. Dadanya rata. Darisitu kusimpulkan bahwa dia seorang laki-laki. Seorang laki-laki yang keren.

Dia menatapku dengan seksama. Aku merasa risih dipandangi oleh seorang lelaki dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sejurus kemudian, pandangannya sampai pada lenganku. Pandangannya tajam dan menusuk.

"Hei. Siapa kau? Aku tak pernah melihatmu sebelumnya?" tanyanya seperti polisi yang menginterogasi tersangka.

"Aku? Aku Jack. Aku penduduk baru. Aku tinggal di perkebunan di balik spring ini," jelasku.

"Oke, Jack. Untuk apa kau mengambil bunga sebanyak itu?" tanyanya curiga. Ow ow. Tak mungkin kukatakan padanya bahwa aku mengambil bunga-bunga ini untuk alasan ekonomi. Aku harus memberikan alasan lain.

"Untuk nenekku. Dia sangat menyukai bunga dan menyuruhku untuk memetikkannya beberapa," bualku dengan yakin. Nenek? Aku tidak punya nenek. Oh, mungkin si nenek pacarnya Takakura. Mungkin saja kan si Takakura itu punya pacar? Habis, setiap hari dia selalu pergi ke kota. Pasti untuk menemui pacarnya, kan?

Lelaki berambut merah itu menatapku seakan-akan dia tidak percaya atas apa yang kuucapkan padanya barusan.

"Oke, Jack. Alasanmu bisa diterima," ujarnya datar, "Tapi, tolong jangan mengambil terlalu banyak. Orang lain juga ingin menikmati keindahan bunga-bunga di spring ini, kan?"

Orang lain juga ingin menikmati uang yang dihasilkan dari menjual bunga-bunga di spring, maksudmu? Heh. Tentu saja hal itu tidak kuutarakan padanya. Jadi aku gantikan dengan kalimat, "Maaf. Lain kali aku tidak akan mengambil terlalu banyak."

Lelaki bermata biru itu tersenyum. Manis. Oh, man! No yaoi in my life.

"Nah. Aku harus segera pulang. Sudah sore," ujarnya. Langit memang sudah berwarna merah. Mentari sudah tidak lagi berada di atas. Percikan cahaya dari planet Venus pun sudah mulai tampak di langit, disertai dengan cahaya-cahaya yang lain. Indah sekali. Semua cahaya itu memantul pada air terjun di dekat spring. Saking terpesonannya, aku sampai hampir tidak menyadari bahwa lelaki berambut merah itu beranjak pergi dari spring.

"Oh, maaf. Boleh aku tahu siapa namamu?" tanyaku tergesa-gesa dengan suara yang kuat saat kudengar langkah kakinya.

"Aku? Namaku Nami. Aku tinggal di Inn," jawabnya datar. Nami... Nami kan nama untuk perempuan! Jadi, dia itu perempuan? Astaga! Aku sama sekali tidak mengeluarkan senyuman mautku tadi.


-To Be Continued-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar