Translator 2nd

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Follower

Sabtu, 17 Juli 2010

Lanjutan Jack wonderful live

CHAPTER TWO

Huam! Pagi datang kembali. 9 A.M. Saatnya menyiram tanaman, memberi makan sapi... Aahh... Bosan. Tapi itulah realita. Kenyataan. Takdir seorang petani.

11.30 A.M. Selesai sudah kerjaan pagi ini. Saatnya kembali ke alam mimpi.

"Jack!" Ada suara memanggilku. Menghentikan langkahku yang tadinya kuarahkan ke arah rumahku.

"Ada apa, Takakura?" tanyaku.

"Kau tidak berjalan-jalan?"

Ah, sial. Pasti dia berniat menyuruhku bersosialisasi. Ya, ya, ya. Aku memang menginginkan barang langka dari mereka. Tapi, hari ini aku lagi malas.

"Jam segini penduduk desa pasti sedang sibuk bekerja. Tak baik mengganggu mereka," kilahku.

"Hari ini tanggal 8. Penduduk desa banyak yang libur. Dan di tengah kota, ada Van. Pedagang yang menjual barang-barang bagus. Kau juga bisa menjual benda-benda yang kau punya padanya," jelas Takakura.

"Dia akan membeli apapun?" tanyaku.

"Ya."

"Kalau begitu, kujual saja perkebunanku."

Mata Takakura yang sipit itu membelalak. Aku senang melihatnya.

"Apa maksudmu, Jack?" tanyanya serius.

"Oh, just kidding, Bro. Hahaha," kataku berlalu sambil menepuk pundak Takakura. Takakura masih keheranan. Tapi, siapa peduli. Aku terus berjalan ke luar perkebunanku.

"Hai, Jack," sapa seseorang.

"Oh. Hai, Celia," aku menyapanya balik dengan senyum manisku. Hei, jangan sia-siakan gadis cantik, right?

"Mau ke mana, Jack?" tanyanya.

"Mau ke tempat... Van?" jawabku.

"Oh. Selamat berbelanja ya, Jack," kata Celia.

"Terima kasih, Celia," balasku, "Kau mau ke mana?"

"Aku mau ke danau. Duluan ya, Jack."

"Oke," jawabku singkat. Singkat is cool, Man.

Aku berjalan menelusuri desa. Mencari tempat Van berjualan. Di sepanjang jalan kulihat hal-hal yang belum pernah kulihat sebelumya. Yah, walaupun aku sudah delapan hari tinggal di sini. Aku tidak pernah keluar rumah. Ternyata di Forget Me Not Valley ini ada pantai. Mungkin nanti akan kusempatkan main ke sana.

Setelah melewati Inn, kulihat ladang tomat. Eh? Ada tomat yang aneh! Berukuran raksasa. Bergegas kuberlari untuk melihat tomat aneh itu. Lima puluh meter kemudian, langkahku terhenti. Kecewa. Karena yang kulihat tadi itu ternyata bukan tomat raksasa. Hanya seorang bapak-bapak bulat berbaju merah. Akan sangat padu bila dia berdiri berdampingan dengan Vesta. Bagaikan tomat dan jeruk.

"Hai, apa yang kau jual?" tanyaku langsung setelah aku sampai di lapaknya. Aku yakin dia adalah Van.

"Oh. Anda agak tidak sopan, Anak muda," katanya. Who cares? kataku dalam hati. "Lihat saja barang-barang yang tertata di sini," katanya lagi. Tertata apaan? Saking tertatanya, aku harus mengubek-ubeknya untuk mencari barang yang berguna.

Hmm... Ada sikat. Mungkin si Sapi senang kalau kusikat. Penasaran siapa si Sapi? Ya sapiku lah. Sapiku namanya Sapi. Males nyari nama lain.

"Aku mau beli sikat ini," kataku, "Berapa harganya?"

"500 G."

"Oke. Saya beli."

"Mau beli barang ini juga?" tanya Van sambil mengaduk-aduk boks jualannya.

"Pancingan?" Hmm... Lumayanlah untuk menghabiskan waktu luang. "Berapa harganya?"

"Only 500 G."

"Oke. I'll take it," ujarku. Kenapa pada ngomong sok Inggris gini, sih.

Kumasukkan barang-barang yang kubeli tadi ke dalam ranselku. Hmm... Selanjutnya, ke pantai deh. Penasaran sama pantainya.

Hmm... Pantainya sama sekali tidak berbau amis. Pasirnya putih, airnya dingin. Sangat cocok untuk refreshing. Kulepas sepatuku dan mulailah kubermain air di pinggir pantai. Sudah lama aku tak merasakan nikmat hidup selain tidur.

"Hei. Anak baru, ya?"

"Ah. Iya," kataku kembali menatap orang yang mengajakku berbicara.

"Kau suka pantai, ya?"

"Iya. Aku sangat suka pantai. Tapi, di pantai ini tidak bisa memancing, ya," jawabku.

"Yah. Namanya juga pantai landai. Hei, kulihat badanmu gagah juga," katanya. Hei, hei! Pake muji-muji segala. Mau apa sih?

"Mau kerja di situs penggalianku?" tanyanya.

"Hm?"

"Oh, maaf. Namaku Carter. Aku seorang arkeolog."

"Berapa bayaran yang kudapat jika bekerja denganmu?" tanyaku.

"Eh... Euhm... Nggak dibayar, sih. Cuma kau bebas mengambil barang-barang tambang yang ada di sana. Jika barang-barang itu kau jual pada Van, harganya akan lumayan mahal," jelasnya, "Dan kerjanya juga bebas, kok."

"Hm... Oke," kataku sambil menjabat tangannya.

Pekerjaan ini lumayan juga lah buat nambah penghasilan.

Umh. Aku ketiduran. Saking asyiknya suasana pantai, aku sampai ingin menghabiskan waktuku seharian di sini. Yah. Sebenarnya aku sudah menghabiskan waktuku di sini, sih. Matahari sudah tak lagi menampakkan wajahnya. Hari sudah gelap. Tanda malam datang. Malam? Astaga! Sapi belum kuberi makan! Aku harus bergegas pulang.

Aku berlari. Bergegas pulang demi ladang uangku. Si Sapi, tentu saja.

'BRAAK!'

"Ouch." Aku jatuh terduduk setelah menabrak buntalan daging. Buntalan daging?

"Hei. Kau baik-baik saja?" tanya buntalan daging tersebut sambil memberikan uluran tangannya.

Aku berencana menjawab uluran tangannya... Oh, no.

"Bang! Ampun, Bang. Saya nggak sengaja, Bang!" pintaku pada si buntalan daging. Oke. Buntalan daging adalah preman. Preman yang sangat seram. Aku yang cool ini saja sampai ketakutan.

"Bangunlah. Tak apa-apa," ujarnya. "Hei, kau penduduk baru, ya? Kenalkan, namaku Cody."

"Aku Jack," kataku. He? Nih preman nggak bakalan malak, kan?

"Kau sudah berkenalan dengan penduduk desa yang lain?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Mau ikut aku ke bar?" ajaknya. Tapi, daripada disebut ajakan, lebih terlihat seperti paksaan. Aku mengangguk cepat. Takut.

'KLING KLING'

"Hai, Cody," sapa seorang om-om yang sedang mengelap-ngelap botol. Ok. Darisitu bisa dipastikan bahwa om-om itu bartendernya.

"Hai, Griffin," balas Cody.

"Siapa dia?" tanya Griffin setelah melihatku.

"Dia petani baru. Namanya Jack," jawab Cody.

"Oh. Salam kenal, Jack. Duduklah. Kutraktir," kata Griffin sambil tersenyum manis. Heh, aku tak perlu senyummu. Tapi kau oke juga, traktiranmu maksudku. Oh, yeah. Tentu saja itu hanya kuucapkan dalam pikiranku.

"Terima kasih, Griffin," ucapku, tentu saja.

Cody diam, tidak berbicara. Hanya menggoyang-goyangkan gelas winenya. Griffin sedang sibuk membuatkan minuman untukku. Bar apaan, nih? Sunyi banget.

Aku bangun dari dudukku. Hanya ingin melihat-lihat detail barnya. Hm? Ada notes kecil di bawah vas bunga. Kuangkat vas biru tersebut dan kuambil notes itu. Mari kita baca isinya. Siapa tahu tertulis nomor rekening bank beserta passwordnya.

~*~*~
Dear diary...
Malam ini aku berkunjung ke perkebunannya Takakura karena kudengar ada penduduk baru di sana.
Sesampainya di sana, aku disambut anjing nakal. Dia menggonggongiku terus. Aku takut.
Tak lama dari itu, seorang pangeran datang dari arah rumah kecil yang terletak di ujung perkebunan itu dan menolongku.
Dia memerintahkan anjing itu untuk menjauh dariku.
Dia juga menanyakan apakah aku baik-baik saja atau tidak.
Dia tampan, diary.
Sepertinya, aku suka padanya...
~*~*~

Heh. Ujung bibirku naik sedikit. Diary cewek yang digonggongi Odi waktu itu. Dia suka denganku? Hah. Tentu saja. Mana ada perempuan yang tidak suka padaku.

'Clek.'

Ups. Pintu bar terbuka. Kuletakkan kembali diary itu ke tempatnya semula dan aku pun kembali duduk manis di kursi.

"Hai, Cody," sapa suara imut dari arah daun pintu. Cody hanya tersenyum. Sedikit.

Oke. Kita lihat siapa pemilik suara imut tersebut. High heels merah, mini dress merah, bolero biru, rambut ikal yang pirang... Hmph.

"Hei, siapa yang duduk di samping Cody?" tanyanya setelah melihat bagian kecil dari tubuhku yang tertutup oleh tubuh besarnya Cody.

Aku sok tak menjawab dan menghiraukan wanita tersebut.

"Dia Jack. Pemilik perkebunan yang baru," jawab Griffin.

Dapat kulihat dari ekor mataku. Pipi wanita itu sedikit memerah. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan ke arahnya.

"Salam kenal. Namaku Jack," kataku sambil menyodorkan tanganku. Tak lupa kuberikan senyuman paling cool untuknya.

"Aku Muffy," jawabnya. Masih tersipu malu. Tentu saja. Dia kan naksir aku. Oke. Akan kugoda sedikit.

"Muffy... Nama yang terdengar enak sekali. Seperti orangnya," kataku dengan tatapan langsung ke matanya dan kusapu sedikit bagian atas bibirku dengan lidahku.

Ya. Berhasil. Merah sudah wajahnya.

-To Be Continued-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar